OKEMOM – Adanya pandemi Covid-19 yang melanda berbagai belahan dunia termasuk Indonesia membuat berbagai sektor turut merasakan dampaknya.
Akibatnya kini segala sesuatu banyak yang dilakukan secara daring, begitu pun dengan proses belajar mengajar yang tak lagi dilakukan secara tatap muka bersama guru di sekolah.
Akhirnya para orang tua pun khususnya Mom harus berperan ganda dalam mendampingi si kecil sekolah online demi terwujudnya suasana belajar yang kondusif. Memang ini bukanlah perkara mudah, namun kita dan jutaan Mom lainnya harus berjuang bersama demi memberikan yang terbaik untuk buah cinta.
Dalam rangka Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, sudah sepatutnya kita mengenang jasa para pahlawan. Tak hanya pahlawan proklamator dan revolusi, Mom pun juga pantas menyandang predikat pahlawan. Karena begitu banyak pengorbanan dan perjuangan untuk melahirkan serta mendidik calon pemimpin bangsa.
OKEMOM mengajak para Mom, pahlawan milenial untuk berbagi cerita seputar perjuangannya dalam membimbing buah hati tersayang selama proses belajar daring.
Dina Angelica Yonatan (31), Mendampingi anak sekolah online membutuhkan kesabaran ekstra

Mendampingi anak usia dini selama sekolah online memang membutuhkan kesabaran ekstra, hal itu pun juga dirasakan Dina Angelica. Perempuan berusia 31 tahun itu mengaku sempat lelah mendampingi anak semata wayangnya, Jadediah Abe yang masih berusia 4 tahun untuk sekolah online.
“Sebenarnya lelah mendampingi sih nggak, tapi kadang suka lelah menahan emosi. Akan tetapi setelah dipikir-pikir, mau sekolah online atau nggak pun memang sudah tugas ibu untuk siapin semuanya termasuk mendampingi atau sekadar antar anak ke sekolah,” cerita Dina saat dihubungi OKEMOM via chat, Selasa (10/8).
Bagi Dina mendampingi anak sekolah online merupakan pengalaman dan rutinitas baru, sebab si kecil memang belum lama ini masuk Taman Kanak-kanak. Kini, Dina merasa sudah lebih terbiasa berjibaku dengan drama anak sekolah online.
“Setelah dijalani hampir satu bulan, lama-lama jadi terbiasa sendiri. Dari yang awalnya suka pengin marah, sekarang sudah lebih santai karena jadi tahu juga perkembangan pembelajaran anak.
Sekarang kita nggak hanya melihat perkembangan anak dari tulisan hasil pantauan guru di raport, tapi kini kita juga jadi lebih tau pelajaran apa yang membuat anak merasa tertarik,” tuturnya.
Dina pun tak pernah menyerah dan tetap semangat untuk mendampingi serta memberikan pemahaman selama anak sekolah online. Sebab, momen seperti ini bisa menjadi pengalaman yang tak pernah terlupakan.
“Semangat ya para mama-mama pejuang sekolah online jangan menyerah demi anak kita,” pesan Dina untuk sesama pejuang sekolah online.
Robiatul Adawiyah (35), Menunda pekerjaan rumah demi mendampingi pembelajaran daring

Tak hanya siswa dan guru, orang tua pun juga dituntut untuk beradaptasi dengan kultur pembelajaran jarak jauh di masa pandemi seperti sekarang ini. Kini, rumah telah berubah menjadi layaknya sekolah yang dari pagi sampai siang penuh dengan kegiatan belajar mengajar.
Perjuangan para orang tua dalam membimbing dan mendampingi anak selama sekolah online pun bervariasi. Kesulitan itu pun juga tengah dirasakan Robiatul Adawiyah atau kerap disapa Yayah.
Yayah mengutarakan kegundahannya mendampingi kedua buah cintanya, Aurellia dan Nabihan selama sekolah online.
Tak hanya lelah secara fisik, namun Yayah juga mengaku lelah menghadapi koneksi internet yang terkadang kurang memadai sehingga membuat pembelajaran online menjadi terhambat.
“Lelah banget sih pasti. Nggak cuma capek, tapi kita juga harus memastikan kuota internet tersedia dan sinyal pun juga harus bagus agar belajar online berjalan kondusif,” ungkap Yayah saat dihubungi OKEMOM via chat, Sabtu (14/8).
Kendati demikian, Yayah tetap berusaha semaksimal mungkin untuk mendampingi kedua anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Bahkan, perempuan kelahiran 1986 itu sampai rela menunda pekerjaan rumah demi bisa mendampingi pembelajaran daring.
“Aku biasanya full dampingi anak-anak sekolah online, terlebih anakku yang kedua baru banget masuk SD jadi masih sangat perlu pendampingan. Untuk urusan pekerjaan rumah, biasanya baru aku kerjakan setelah anak-anak selesai belajar onlinenya,” kata Yayah.
Kendati selalu mendampingi anak sekolah online bukan berarti semuanya bisa berjalan mulus. Pasalnya, tak jarang Yayah harus memutar otak mencari solusi ketika anak mogok tak mau sekolah.
“Pernah suatu ketika anakku yang kedua si Nabihan mogok sekolah dan malah kabur saat guru sedang menjelaskan materi melalui video call. Mau nggak mau aku harus cari cara dan biasanya anak nggak bakal mau kalau kita paksa. Akhirnya aku minta pengertian ke gurunya agar diberi keringanan waktu untuk mengumpulkan tugas sampai anaknya mau belajar lagi,” cerita Yayah.
Di akhir cerita, Yayah mengungkapkan kekhawatirannya terhadap dampak pembelajaran online apabila pandemi tak kunjung usai.
“Selama pandemi ini semua serba online kita jadi ketergantungan dengan gadget. Begitu pun dengan anak-anak, di mana sekolah online harus menggunakan gadget.
Setelah sekolah, anak pasti suntuk dan butuh hiburan. Karena pandemi, mereka jadi nggak bisa main dengan teman dan salah satu hiburan ya hanya game online. Anak-anak pun jadi malas-malasan di rumah,” tutup Yayah.
Theresia Avila Tika (30), Belajar berdamai dengan drama sekolah si kecil

Bagi Avila Tika mengurus tiga anak bukan lah perkara mudah, terlebih jarak usia ketiga anaknya terbilang tak begitu jauh.
Selain mengurus rumah tangga, kini perempuan berusia 30 tahun itu juga harus sigap mengawasi dan memastikan buah hati pertama dan keduanya, yakni Fiora dan Della dapat mengikuti proses belajar online yang diberikan sang guru.
Menghadapi situasi seperti ini membuat Avila Tika kerap merasa lelah dan sedih. Pasalnya, Ia harus melewati berbagai drama di pagi hari ketika si kecil harus sekolah online.
“Awalnya, aku super struggle, bukan hanya kasihan sama anak, tapi juga kadang ada perasaan marah karena aku sebagai orang tua merasa nggak bisa ngajarin anak dengan baik. Bahkan, pernah hampir depresi karena tiap malam nggak bisa tidur, takut besok anak sekolah bakal ada drama lagi,” cerita Avila saat dihubungi OKEMOM via chat, Selasa (10/8).
Meski fisik terasa lelah, namun seiring berjalannya waktu, Avila Tika mulai mencoba menerima dan membiasakan berdamai pada diri sendiri untuk memberikan yang terbaik dalam membimbing kedua buah cintanya belajar online.
“Sekolah online itu melelahkan apalagi jika keluarga punya masalah ekonomi serius yang mengharuskan kedua orang tua harus ekstra cari pendapatan tambahan.
Tapi setelah 1,5 tahun aku sebagai orang tua yang full time mendampingi dua anak sekolah online kini sudah lebih berdamai sama diri sendiri dan menerima bahwa ya memang situasinya seperti ini harus dilalui,” ungkapnya.
Demi memberikan yang terbaik dan memaksimalkan proses belajar untuk Fiora dan Della, Avila Tika pun bekerja sama dan berbagi keluh kesah dengan guru sang anak mengenai kendala yang tengah dihadapi.
“Selain bekerja sama dengan sekolah untuk memaksimalkan proses belajar, aku juga sharing sama guru soal kendala. Jadi, guru pun tahu pola belajar anak dan memerhatikan kesanggupan kita ngajarin anak berapa banyak, berapa lama, akhirnya masa kelam itu bisa mulai menjauh,” lanjutnya.
Kini, Avila Tika tak mau ambil pusing apabila anak belum mau belajar. Baginya, pendidikan memang penting namun sehat mental di masa pandemi juga tak kalah pentingnya.
“Kalau salah satu lagi ga kondusif untuk belajar ya mending nggak usah belajar dulu. Bukan menyepelekan pendidikan sama sekali, tapi saat ini prioritas utamanya adalah anak dan kita tetap waras, tetap bahagia, tetap sehat di masa pandemi. Lagi pula bukan hanya anak kita yang sedang kesusahan belajar online, tapi semua anak di dunia juga sedang berjuang dan beradaptasi,” tutup Avila.
Dzulkhulaifah (37), Ciptakan suasana yang menyenangkan demi sukses dampingi anak sekolah online

Pandemi membawa banyak perubahan dalam kehidupan Dzulkhulaifah atau kerap disapa Eva. Kini, ibu satu anak ini tak hanya memiliki kewajiban sebagai ibu rumah tangga saja, namun juga harus bekerja dan menjadi guru dadakan untuk putranya yang masih berusia 7 tahun.
Meski kerap merasa lelah, namun Eva tetap berusaha memberikan yang terbaik untuk putra semata wayangnya itu.
“Sebenarnya lumayan stres juga. Apalagi anakku tahun ini masuk SD (Sekolah Dasar) tapi aku tetap mencoba memberikan yang terbaik.
Dulu, waktu awal pandemi anakku masih duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK), nggak jarang aku mikir, Kapan ya anakku bisa ke sekolah? Biar aku bisa punya waktu untuk beres-beres rumah, masak, dan kerja.”
“Tapi setelah satu setengah tahun lamanya dengan kondisi yang seperti ini, aku meminimalisir pikiran itu karena aku mau fokus mendampingi anakku belajar tanpa banyak pikiran. Jadi, anak pun juga bisa menerima pelajaran dengan baik dari aku yang bukan seorang guru ini,” cerita Eva saat dihubungi OKEMOM via chat, Selasa (10/8).
Walaupun sudah bisa melewati masa-masa penuh perjuangan mendampingi anak sekolah online, namun Eva mengaku bahwa terkadang Ia masih diselimuti rasa kekhawatiran.
“Ketakutan terbesarku saat ini sebenarnya bagaimana kalau aku nggak bisa kontrol emosi, karena kadang suka nggak sabar juga. Tapi itu balik lagi bagaimana aku bisa komunikasi dengan anak, supaya dia bisa ngerti dengan penjelasanku,” lanjutnya.
Di akhir cerita Eva mengungkapkan bahwa kunci sukses mendampingi anak sekolah online sebenarnya sederhana, yaitu Ia harus menciptakan suasana yang happy supaya belajar menjadi lebih menyenangkan.
“Kuncinya adalah menciptakan dan menjaga waktu berkualitas dengan anak secara konsisten dan bermakna. Aku juga menerapkan berbagai metode belajar yang sekiranya anak mudah mengerti dan nggak lupa memberi anak motivasi dan semangat setiap hari,” tutup Eva.
Eka Watik (33), Berperan jadi guru dadakan itu tak mudah

Berperan menjadi ibu rumah tangga sekaligus guru dadakan di rumah juga tengah dirasakan Eka Watik. Saat dihubungi OKEMOM via chat, Selasa (10/8), ibu satu anak ini dengan lantang mengutarakan kegundahannya selama mendampingi buah hatinya, Abyan yang masih berusia 7 tahun.
“Dibilang lelah ya sudah pasti lelah karena pada dasarnya sebagian orang tua tidak begitu mahir semua pelajaran dan tidak semua orang tua bisa berperan sebagai tenaga pendidik sebagaimana guru di sekolah.”
Terlebih efek dan pembelajaran dari guru di sekolah berbeda 360 derajat dengan efek belajar dari orang tua. Jadi serba salah mikirin gimana anak bisa paham apalagi untuk anak sedini ini. Sedangkan aku merasa kurang memiliki dasar sebagai seorang pengajar,” ungkapnya.
Kekhawatiran dan rasa takut terhadap perkembangan buah hatinya pun kerap menyelimuti perasaan Eka. Tak jarang, Ia juga bertanya-tanya apakah Abyan akan mengerti dan paham dengan pembelajaran online yang diberikan oleh gurunya.
“Kadang suka khawatir melihat perkembangan anak kalau belajar online gini terus, apakah anak bisa paham dengan pelajaran? Terlebih anak-anak memiliki pemahaman yang berbeda-beda di mana ada pelajaran yang memang harus mendapat pendampingan dari gurunya dan bukan sekadar melihat pembahasan dari internet saja yang justru bisa bikin anak ketergantungan sama gadget nantinya,” lanjut Eka.
Setelah satu setengah tahun lamanya pandemi merundung Indonesia dan proses belajar harus dilakukan secara daring, Eka mengaku banyak sekali perbedaan antara sekolah tatap muka dengan daring.
“Perbandingan jelas beda saat anak offline dengan online yang saat ini terjadi. Setelah sekolah daring selesai, justru tingkat konsentrasi anak menurun. Bahkan, nggak jarang Abyan terus bertanya kapan sekolah. Padahal selama ini dia sekolah, ya cuma bedanya harus sekolah online,” tutup Eka.
Itulah kisah perjuangan Mom sebagai pahlawan milenial dalam membimbing dan mendampingi anak sekolah online. Tetap semangat dan terus berjuang demi masa depan buah hati, Mom!